Minggu, 19 Juni 2022

[late post] : SIARAN PERS

 



Refleksi 2014 ; Menuju Jurnalis Kenabian

 PJMI Serukan Agar Jurnalis/Media Massa Tetap Menjaga Independensi

 Tidak Menjadi Alat Kepentingan Politik Tertentu.

 

Soekarno dalam pidatonya pada rapat BPUPKI tanggal 15 Agustus 1945, mengatakan :  ”Apakah kemerdekaan itu merubah segalanya dan harus menunggu semua rakyat Indonesia untuk bisa membaca. Tidak saudara – saudara, setelah proklamasi dan perubahan itu dimulai. Kemerdekaan merupakan jembatan emas menuju perubahan itu.” Telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.

Jembatan emas itu menuju demi memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Jembatan emas  berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat  perjalanan panjang menjadi Indonesia dalam usia 68 tahun kemerdekaan, 13 tahun terakhir kerap dipandang  sebagai era demokrasi yang menempatkan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat  diatas segalanya. Kebebasan berpikir  diatur oleh akhlak.  

Kebebasan pers  sebagaimana kebebasan yang lain, tidak mutlak tanpa batas.  Batasan bukan mengubur kreatifitas dan kebebasan, namun untuk menghormati hak dan kebebasan dengan pihak lain. Pers  sebagai pilar keempat demokrasi dituntut menjadi pandu bangsa kedepan. 

Jurnalis Muslim meyakini  Ke-Islaman, ke-Indonesia dan Modern adalah cakrawala  yang tidak terpisah untuk menjadi Indonesia. Meski istilahnya beragam, Jurnalistik Dakwah,  dakwah bil qolam dan jurnalis kenabian pada asaznya merujuk sifat  Rasulullah SAW.

Ajaran Nabi Muhammad SAW berupa sifat  sidiq , amanah, fatanah dan tabligh menjiwai jurnalis dalam  memberikan kebenaran kepada para pembaca. 

Memandang hal diatas, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) mencatat beberapa hal sepanjang tahun 2013 yang masih  menyisakan masalah. PJMI  mencatat persoalan tahun 2013 dan masih akan mewarnai pada tahun 2014  antara lain;

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) seharusnya menjadi tolak ukur pertama aturan hukum yang berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers. Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum yang menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.

Kebebasan berekspresi bakal terancam berupa sensor dan tekanan oleh negara, kelompok politik atau masyarakat yang mengatas namakan kebenaran melakukan tekanan dengan memaksakan opini sepihak.

Konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang berafiliasi pada kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri media akan menciptakan pers yang tidak sehat jika  pemilik modal melakukan intervensi dalam ruang redaksi. Monopoli dalam pemilikan media  juga akan berakibat monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam hal penggunaan frekuensi publik.

Berkembangnya media tidak diimbangi oleh kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerja pers.  Rendahnya status karyawan tetap maupun jurnalis yang berstatus koresponden, kontributor, stringer dan freelancer,  meminta perusahaan media untuk tidak bersikap tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak manusiawi ini.

Beragam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Masih hangat dalam ingatan, penganiayaan dan perampasan alat liputan disertai penganiayaan fisik seperti dilakukan perwira TNI AU Letkol Robert Simanjuntak terhadap jurnalis peliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di Pekanbaru adalah contoh kekerasan yang harus segera dikenai sanksi dan hukuman tegas.

Sekelompok massa melakukan  penyerbuan stasiun TVRI Gorontalo oleh massa pendukung Wali Kota Gorontalo Adhan Dhambea. Kasus lain, pembakaran kantor redaksi Palopo Pos dan Fajar Biro Palopo di Palopo, Sulawesi Selatan.

Hingga hari ini, setelah 17 tahun berlalu, belum terungkapnya motif dan dalang  terbunuhnya  wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin.  Kasus ini merupakan kisah yang tersisa dari   Rezim Orde Baru. Kasus ini mengisyaratkan betapa rentannya perlindungan jurnalis dalam mengungkap fakta.   

Sementara dalam kancah internasional, 126 Wartawan di Dunia Tewas Akibat Kekerasan. Setelah Suriah, Filipina dan India menjadi negara yang paling berbahaya untuk para jurnalis. Di kedua negara itu, masing-masing ada 13 wartawan tewas saat bertugas. Di Filipina, 9 jurnalis tewas dibunuh dan 4 lainnya karena topan haiyan.

Sementara di India, 7 jurnalis dibunuh, tapi pelakunya tidak pernah diusut. Dua jurnalis lainnya tewas saat meliput kerusuhan massa dan 4 tewas kecelakaan saat bertugas.

Di Irak, 11 jurnalis tewas, 10 di antaranya dibunuh oleh kelompok bersenjata, 7 di Mosul. Di Pakistan, 9 tewas. Secara keseluruhan, pada 2013 ini terdapat 126 jurnalis yang tewas dalam tugas. (sumber : liputan 6.com)

Tahun 2014 merupakan tahun politik karena berlangsungnya pemilihan  umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya banyak pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan Pemilu 2014.

Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang dimiliki tokoh politik sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan politik bukan hanya terjadi di ranah frekuensi public media ceta  dan  media online.

Dalam tahun politik 2014, Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) menyerukan jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga independensi dan profesionalme pers dalam memberitakan proses politik dengan merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Memandang hal itu, PJMI menyatakan :

  1. Mendesak Pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan berekspresi dan  menghentikan berbagai aksi  kekerasan atau  aturan hukum yang diterapkan oleh aparat hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama baik dalam karya jurnalistik dan citizen journalism.
  2. Menyerukan agar media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan politik tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan profesionalismenya.
  3. Mendesak agar para penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar para hakim merujuk UU Pers dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
  4. Menuntut pemerintah menjadikan hari kematian Udin sebagai hari perlindungan jurnalis.

------------------------------------------------------------------------------------------

Sekilas Tentang Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) :

Pada tanggal 08 April 2011, usai melaksanakan sholat Jumat di masjid dekat tempat tinggalnya, wartawan senior Widi Yarmanto meninggal dunia. Sore hingga malam itu, banyak kerabat wartawan bergerak dating ke rumah duka. Tapi, hanya sampai disitu. Esok paginya, saat jenazah hendak dikebumikan, wartawan yang mengantar hingga ke kuburan jumlahnya tak lebih dari lima jari tangan.

Fenomena itu, hampir terjadi pada setiap wartawan yang meninggal dunia. Solidaritas profesi tidak berlanjut hingga jasad wartawan rekan kita, tertanam di tanah. Sungguh berbeda dengan profesi lain. Seorang tentara, misalnya, ketika dia meninggal, jasadnya diserahkan ke negara. Para tentara juga yang mengantarkan hingga keliang lahat.

Lalu, sampai kapan fenomena wartawan yang meninggal tak diantar banyak rekannya hingga ke liang lahat ?. Bahkan, sebelum ajal menjemput, berapa pula jumlah wartawan yang tergerak untuk mengunjungi, mendoakan serta member bantuan dana pengobatan pada sesame rekan profesi yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit ?, Wallahu’alam.

Kondisi social di antara rekan profesi wartawan ini membuat wartawan muslim terinspirasi untuk mendirikan Persadaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI). Tujuh wartawan senior; Mashadi (Era Muslim), Mohammad Anthoni (LKBN Antara), R.Widojo Hartono (Majalah Tapal Batas), Luqman Khalid (Tabloid Bekam), Ahmad Djunaedi (Suara Islam), Iwan Samariansyah (Jurnal Nasional) dan Suyunus Rizki (Koran Jakarta), sepakat untuk mendeklarasikan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).

Deklarasi dilakukan dalam pertemuan sederhana di Rumah Makan Aljazera, Jl.Raden Saleh, Jakarta Pusat,di depan Pembina Mohamad Bawazeer (tokoh pergerakan Al Irsyad) disaksikan Brigjen TNI Hartin Asrin (Kapuskom Publik Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI) pada 03 November 2011.

Selanjutnya, untuk menggerakan organisasi PJMI, Ketua Umum Mohammad Anthoni menghubungi wartawan senior Parni Hadi dan Irjen Pol (Purn) H. Hari Soenanto mendampingi Mohamad Bawazeer sebagai Pembina, dengan Prof DR. H. Ahmad Sutarmadi sebagai penasehat.

Persaudaraa Jurnalis Muslim Indonesia didirikan atas sebuah kesadaraan sejarah dari para jurnalis Muslim tentang pentingnya pembelaan terhadap nilai-nilai keadilan dalam penyampaian informasi kepada publik yang selama ini dirasa sering merugikan bangsa Indonesia. Juga untuk meningkatkan dan mengukuhkan ikatan ukuwah, meluruskan pemberitaan yang salah dan tak berimbang.

Hingga kini,PJMI sudah terbentuk di Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Pekanbaru, Riau, Sulawesi Utara.  Di Jakarta, sekitar 50 orang wartawan dari berbagai media telah bergabung dalam PJMI.

 
Jakarta, 28 Desember 2013

PERSAUDARAAN JURNALIS MUSLIM INDONESIA (PJMI)

Mohammad Anthoni (Ketua Umum) – HP.0813 1415 6686

R. Widjojo Hartono (Wakil Ketua) – HP.0812 3106 2242

Luqman Khalid (Sekertaris Jendral) – HP.0813 8373 3155

MY. Gunawan (Ketua Departemen Media/Humas) – HP.0865 1714 425

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[Siaran Pers] PJMI Gelar Audiensi dengan PP DMI

  (Berikut kami kirimkan Rilis Kegiatan PJMI, Jumat, 20 Januari 2023) pilihan judul  PJMI Gelar Audiensi dengan PP DMI  Ketum PP DMI, Fung...