Refleksi 2014 ; Menuju
Jurnalis Kenabian
PJMI Serukan Agar Jurnalis/Media Massa Tetap Menjaga
Independensi
Tidak Menjadi
Alat Kepentingan Politik Tertentu.
Soekarno dalam pidatonya
pada rapat BPUPKI tanggal 15 Agustus 1945, mengatakan : ”Apakah kemerdekaan itu merubah segalanya dan
harus menunggu semua rakyat Indonesia untuk bisa membaca. Tidak saudara –
saudara, setelah proklamasi dan perubahan itu dimulai. Kemerdekaan merupakan
jembatan emas menuju perubahan itu.” Telah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Jembatan emas itu menuju demi memajukan kesejahteran
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Jembatan emas berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapat perjalanan panjang menjadi
Indonesia dalam usia 68 tahun kemerdekaan, 13 tahun terakhir kerap
dipandang sebagai era demokrasi yang
menempatkan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat diatas segalanya. Kebebasan berpikir diatur oleh akhlak.
Kebebasan pers sebagaimana kebebasan yang lain, tidak mutlak
tanpa batas. Batasan bukan mengubur
kreatifitas dan kebebasan, namun untuk menghormati hak dan kebebasan dengan
pihak lain. Pers sebagai pilar keempat
demokrasi dituntut menjadi pandu bangsa kedepan.
Jurnalis Muslim meyakini Ke-Islaman,
ke-Indonesia
dan Modern adalah cakrawala yang tidak
terpisah untuk
menjadi Indonesia. Meski istilahnya beragam, Jurnalistik Dakwah, dakwah
bil qolam dan jurnalis kenabian
pada asaznya merujuk sifat Rasulullah
SAW.
Ajaran Nabi Muhammad SAW berupa sifat
sidiq , amanah, fatanah dan tabligh
menjiwai jurnalis dalam memberikan
kebenaran kepada para pembaca.
Memandang hal diatas,
Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) mencatat beberapa hal sepanjang
tahun 2013 yang masih menyisakan
masalah. PJMI mencatat persoalan tahun
2013 dan masih akan mewarnai pada tahun 2014
antara lain;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU
Pers) seharusnya menjadi tolak
ukur pertama aturan hukum yang berkaitan dengan upaya merawat kebebasan pers.
Namun dalam praktiknya UU ini belum menjadi satu-satunya produk hukum yang
menentukan dinamika kehidupan pers pada pasca reformasi.
Kebebasan berekspresi bakal terancam berupa sensor
dan tekanan oleh negara, kelompok politik atau masyarakat yang mengatas namakan
kebenaran melakukan tekanan dengan memaksakan opini sepihak.
Konglomerasi dan monopoli kepemilikan media yang
berafiliasi pada kepentingan politik di tengah makin berkembangnya industri
media akan menciptakan pers yang tidak sehat jika pemilik modal melakukan intervensi dalam
ruang redaksi. Monopoli dalam pemilikan media
juga akan berakibat monopoli informasi dan pemberitaan, terutama dalam
hal penggunaan frekuensi publik.
Berkembangnya media tidak diimbangi oleh
kesejahteraan atau upah yang layak kepada para pekerja pers. Rendahnya status karyawan tetap maupun
jurnalis yang berstatus koresponden, kontributor, stringer dan freelancer, meminta perusahaan media untuk tidak bersikap
tutup mata terhadap adanya praktik yang tidak manusiawi ini.
Beragam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Masih
hangat dalam ingatan, penganiayaan dan perampasan alat liputan disertai
penganiayaan fisik seperti dilakukan perwira TNI AU Letkol Robert Simanjuntak
terhadap jurnalis peliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI AU di Pekanbaru adalah
contoh kekerasan yang harus segera dikenai sanksi dan hukuman tegas.
Sekelompok massa melakukan penyerbuan stasiun TVRI Gorontalo oleh massa
pendukung Wali Kota Gorontalo Adhan Dhambea. Kasus lain, pembakaran kantor
redaksi Palopo Pos dan Fajar Biro Palopo di Palopo, Sulawesi Selatan.
Hingga hari ini, setelah 17 tahun berlalu, belum
terungkapnya motif dan dalang
terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad
Muhammad Syafrudin alias Udin. Kasus ini
merupakan kisah yang tersisa dari Rezim Orde Baru. Kasus ini
mengisyaratkan betapa rentannya perlindungan jurnalis dalam mengungkap
fakta.
Sementara dalam kancah internasional, 126 Wartawan di Dunia Tewas Akibat Kekerasan. Setelah
Suriah, Filipina dan India menjadi negara yang paling berbahaya untuk para
jurnalis. Di kedua negara itu, masing-masing ada 13 wartawan tewas saat
bertugas. Di Filipina, 9 jurnalis tewas dibunuh dan 4 lainnya karena topan
haiyan.
Sementara di India, 7 jurnalis dibunuh, tapi pelakunya tidak pernah
diusut. Dua jurnalis lainnya tewas saat meliput kerusuhan massa dan 4 tewas
kecelakaan saat bertugas.
Di Irak, 11 jurnalis tewas, 10 di antaranya dibunuh oleh kelompok
bersenjata, 7 di Mosul. Di Pakistan, 9 tewas. Secara keseluruhan, pada 2013 ini
terdapat 126 jurnalis yang tewas dalam tugas. (sumber : liputan 6.com)
Tahun 2014 merupakan tahun politik karena
berlangsungnya pemilihan umum (pemilu)
untuk memilih presiden dan wakil rakyat. Sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya
banyak pihak yang mencoba mempengaruhi dan menguasai media untuk kepentingan
Pemilu 2014.
Fenomena seperti itu muncul di layar televisi yang
dimiliki tokoh politik sekaligus pemilik media. Aroma intervensi kepentingan
politik bukan hanya terjadi di ranah frekuensi public media ceta dan
media online.
Dalam tahun politik 2014, Persaudaraan
Jurnalis Muslim Indonesia
(PJMI)
menyerukan jurnalis beserta perusahaan dan pemilik media untuk selalu menjaga
independensi dan profesionalme pers dalam memberitakan proses politik dengan
merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Memandang
hal itu, PJMI menyatakan :
- Mendesak Pemerintah
di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin berjalannya praktik kebebasan
berekspresi dan menghentikan
berbagai aksi kekerasan atau aturan hukum yang diterapkan oleh aparat
hukum, terutama menyangkut kasus yang dianggap sebagai pencemaran nama baik
dalam
karya jurnalistik dan citizen journalism.
- Menyerukan agar
media massa, terutama jurnalis tidak menjadi alat kepentingan politik
tertentu. Sesuai khittahnya, media massa harus menjaga independensi dan
profesionalismenya.
- Mendesak agar para
penegak hukum segera menggunakan UU Pers sebagai pedoman penyelesaian
sengketa pemberitaan media dan mematuhi seruan Mahkamah Agung (MA) agar
para hakim merujuk UU Pers dalam memutusakan perkara pemberitaan pers.
- Menuntut pemerintah
menjadikan hari kematian Udin sebagai hari perlindungan jurnalis.
------------------------------------------------------------------------------------------
Sekilas Tentang Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) :
Pada tanggal 08 April 2011, usai melaksanakan sholat
Jumat di masjid dekat tempat tinggalnya, wartawan senior Widi Yarmanto
meninggal dunia. Sore hingga malam itu, banyak kerabat wartawan bergerak dating
ke rumah duka. Tapi, hanya sampai disitu. Esok paginya, saat jenazah hendak
dikebumikan, wartawan yang mengantar hingga ke kuburan jumlahnya tak lebih dari
lima jari tangan.
Fenomena itu, hampir terjadi pada setiap wartawan yang
meninggal dunia. Solidaritas profesi tidak berlanjut hingga jasad wartawan
rekan kita, tertanam di tanah. Sungguh berbeda dengan profesi lain. Seorang
tentara, misalnya, ketika dia meninggal, jasadnya diserahkan ke negara. Para
tentara juga yang mengantarkan hingga keliang lahat.
Lalu, sampai kapan fenomena wartawan yang meninggal
tak diantar banyak rekannya hingga ke liang lahat ?. Bahkan, sebelum ajal
menjemput, berapa pula jumlah wartawan yang tergerak untuk mengunjungi,
mendoakan serta member bantuan dana pengobatan pada sesame rekan profesi yang
sedang menjalani rawat inap di rumah sakit ?, Wallahu’alam.
Kondisi social di antara rekan profesi wartawan ini
membuat wartawan muslim terinspirasi untuk mendirikan Persadaraan Jurnalis
Muslim Indonesia (PJMI). Tujuh wartawan senior; Mashadi (Era Muslim), Mohammad
Anthoni (LKBN Antara), R.Widojo Hartono (Majalah Tapal Batas), Luqman Khalid
(Tabloid Bekam), Ahmad Djunaedi (Suara Islam), Iwan Samariansyah (Jurnal
Nasional) dan Suyunus Rizki (Koran Jakarta), sepakat untuk mendeklarasikan
Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).
Deklarasi dilakukan dalam pertemuan sederhana di Rumah
Makan Aljazera, Jl.Raden Saleh, Jakarta Pusat,di depan Pembina Mohamad Bawazeer
(tokoh pergerakan Al Irsyad) disaksikan Brigjen TNI Hartin Asrin (Kapuskom
Publik Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI) pada 03 November 2011.
Selanjutnya, untuk menggerakan organisasi PJMI, Ketua
Umum Mohammad Anthoni menghubungi wartawan senior Parni Hadi dan Irjen Pol
(Purn) H. Hari Soenanto mendampingi Mohamad Bawazeer sebagai Pembina, dengan
Prof DR. H. Ahmad Sutarmadi sebagai penasehat.
Persaudaraa Jurnalis Muslim Indonesia didirikan atas
sebuah kesadaraan sejarah dari para jurnalis Muslim tentang pentingnya
pembelaan terhadap nilai-nilai keadilan dalam penyampaian informasi kepada
publik yang selama ini dirasa sering merugikan bangsa Indonesia. Juga untuk
meningkatkan dan mengukuhkan ikatan ukuwah, meluruskan pemberitaan yang salah
dan tak berimbang.
Hingga kini,PJMI sudah terbentuk di Jawa Barat,
Banten, Jawa Timur, Pekanbaru, Riau, Sulawesi Utara. Di Jakarta, sekitar 50 orang wartawan dari
berbagai media telah bergabung dalam PJMI.
Jakarta, 28 Desember 2013
PERSAUDARAAN JURNALIS MUSLIM INDONESIA (PJMI)
Mohammad Anthoni (Ketua Umum) – HP.0813 1415 6686
R. Widjojo Hartono (Wakil Ketua) – HP.0812 3106 2242
Luqman Khalid (Sekertaris Jendral) – HP.0813 8373 3155
MY. Gunawan (Ketua Departemen Media/Humas) – HP.0865
1714 425